10 Sep 2012

not found: FOREVER THE SICKEST KIDSForever the Sickest ...



 FOREVER THE SICKEST KIDS 

Sepanjang Jalan Braga
"Udahan yuk Bro! Udah sore. Kita balik ke hotel. Lagian perut gue udah mulai keroncongan. Besok kita lanjut hunting lagi!", teriak Tatang dari seberang Jalan Braga, Bandung. Tepat di depan salah satu toko peralatan elektronik.
Aku masih asyik memandangi sebuah bangunan tua yang beberapa dindingnya sudah lapuk dan dilumuti lumut, namun bangunan tersebut ternyata sebuah toko emas terkenal di sepanjang Jalan Braga ini. Tadinya hendak kuambil satu jepret foto, tetapi Tatang terus menerus memanggilku.
"Oke, oke! 10 menit lagi gue nyusul. Lo duluan aja Tang, gue masih punya satu spot menarik di sini.", saut aku membalas ajakannya.
Dia tak berbicara tetapi memberi gerakan isyarat mengiyakan. Tak lama dia pergi berlalu dari pandanganku. Waktu 10 menit kiranya cukup untukku mengambil beberapa foto bangunan yang menghipnotisku itu. Kuarahkan kamera DSLR yang baru saja kubeli 3 bulan yang lalu ke sisi kiri toko emas itu dan kupotret beberapa kali. 
"Hmm, lumayan.", gumamku.
Aku berpikir mungkin lebih bagus kupotret dari sisi sebaliknya. Aku pun berjalan bergeser. Untungnya Jalan Braga sore itu tak terlalu padat pejalan kaki, jadi aku bisa dengan mudahnya ke sana kemari menentukan spot memotret. 
"Aduh!"
Aku hampir terpeleset ketika kakiku tiba-tiba menginjak sesuatu. 
"Aduh, hampir aja gue kepeleset. Siapa sih yang naruh barang begini di jalan? Bikin celaka orang aja.", kesalku pada sebuah kaleng permen kosong yang teronggok di tengah jalan trotoar tempatku berdiri. 
Kutendang kaleng tersebut ke arah tempat sampah yang berdiri 50 meter di dekatku hingga bunyi nyaringnya bergema. Namun tiba-tiba ada beberapa uang receh keluar dari kaleng itu. Aku mengambil kaleng itu kembali dan mengamatinya. 
"Punya siapa ya ni kaleng? Jangan-jangan milik pengamen atau pengemis? Tapi ada duitnya.", ujarku sambil menggoyang-goyangkan kalengnya. 
"Wah lumayan ni isinya banyak"
Aku memutuskan membawa kaleng itu kembali ke hotel daripada membuangnya. Mungkin aku bisa menemukan siapa pemilik kaleng ini besok, pikirku.

***

Sesampainya di hotel Tatang sudah terlihat sangat rapi dan siap untuk berangkat makan di warung nasi kucing yang mangkal persis di depan hotel. Waktu aku sampai ke hotel, warung nasi itu sudah buka dan pelanggannya banyak yang sudah berdatangan.
"Ah lo Bhis, hari gini baru pulang? Katanya 10 menit. Sorry Bro! Gue makan duluan. Udah nggak tahan perut gue minta diisi. Lo nyusul aja kalau mau, tapi jangan lama-lama ya.", tegur Tatang sambil keluar kamar.
Aku yang terlihat lelah saat itu hanya bisa menggangguk dan tersenyum. Badan ini rasanya sudah ingin direbahkan di atas kasur empuk. Tetapi sesaat menutup pintu, Tatang kembali masuk.
 "Apaan tuh? Ngapain lo bawa kaleng Bro? Itu hasil huntinglo hari ini?", tanyanya bingung.
"Oh tentu saja bukan! Tadi gue temuin ini di trotoar. Hampir aja ni kaleng bikin gue jatuh.", ucapku.
"Oh.... Ha ha ha. Makanya jalan lihat-lihat. Tapi ngapain juga sih lo bawa tuh kaleng? Bukannya lo buang aja?", tanyanya heran.
"Bukan begitu Bro, ini kaleng ada duitnya. Kayaknya ini punya pengamen atau pengemis.", jawabku.
"Trus lo mau apain tuh kaleng Bro?", tanyanya lagi. Alis kirinya naik setengah senti.
"Mau gue balikin ke pemiliknya. Pasti orang itu butuh banget duit ini", jawabku dengan bijaksana.
"Gila lu Bro!"
Kalimat terakhirnya itu terucap dalam sekejap sebelum Tatang menutup pintu. Aku duduk di sofa dekat meja TV dan berpikir, apakah tindakanku ini bodoh? Aku sudah terlanjur mengambilnya, bukan membiarkannya saja di dekat tong sampah tadi, berpura-pura tidak tahu apa isinya. Sekarang aku harus bertanggung jawab atas kaleng berisi uang ini, dan tanggung jawab ini tidak mudah. Terpaksa aku harus menyusuri sepanjang jalan Braga dan mencari pengamen atau pengemis itu esok hari.

***
"Jadi lo nggak ikut Tang?", tanyaku sebelum menyeruput tegukan kopi hitam terakhir yang tersanding di meja depan kamar.
"Ah, mendingan nggak deh Bro! Kalau gue jadi lo ni ya, gue nggak akan pusing-pusing nyari siapa pemilik tuh kaleng. Lebih baik gue kasih tuh ke Masjid, atau gue taruh lagi di dekat tong sampah.", jawab Tatang agak ketus. 
Aku agak kecewa dengan pernyataannya itu. Kupikir dia akan mendukung dan menemaniku mencari pemilik kaleng itu, ternyata tidak. Lagi-lagi dia pergi meninggalkanku lebih dulu. Katanya dia punya spot foto lebih kece hari ini, dan lagi-lagi dia tak bilang lokasinya.

Jam 09.00, aku mulai menyusuri Jalan Braga perlahan-lahan. Kuamati setiap jengkal sudut jalanan itu, berharap ada pengamen atau pengemis yang sedang menangis dan gelisah mencari kaleng itu. Tak terasa aku sudah sampai di perempatan lampu merah. Ada sekelompok pengamen yang duduk dekat lampu jalan, menunggu kendaraan berhenti di depan mereka. Tak jauh dari tempat mereka duduk, ada beberapa orang pengemis tengah serius menghitung pendapatan mereka. Pengemis pria yang badannya paling besar justru tidak ikut menghitung. Dia berdiri sambil memperhatikan suasana jalan. Sedetik aku sempat tak yakin atas tindakanku ini. Apakah aku ikuti saja ucapan Tatang tadi? Apakah tindakan kepahlawananku ini akan membuahkan hasil manakala aku sendiri bingung kaleng ini milik pengemis itu atau justru pengamen yang tampangnya sangar-sangar itu?

Lampu lalu lintas menyala merah. Beberapa orang pengamen dan pengemis turun ke jalan dan mulai beraksi. Kuputuskan berjalan mendekat ke kelompok pengamen. Keringat ketakutan bercampur kecemasan menyelimuti wajahku saat itu. Aku sedikit gugup.
"Permisi Bang, sori numpang tanya, apa kaleng ini punya salah satu dari kalian? Gue nemu ini kemarin di dekat trotoar, depan toko kue.", ucapku hati-hati. Bibirku bergetar dan keringat perlahan mengalir membasahi pipi.
Mereka tak langsung menjawab pertanyaanku tetapi justru saling berpandangan satu sama lain. Aku merasa ada yang ganjil dari pandangan mereka terhadapku. Kuartikan bahasa diam mereka menjadi ketidaktahuan dan aku pun pergi meninggalkan mereka. Namun, tiba-tiba seseorang memanggilku.
"Eh lo!", salah satu pengamen bertato naga di lengannya memanggilku.
Aku membalikkan badan dan sebuah tinju mengarah ke wajahku, tepat mengenai rahang kananku. Tonjokannya sangat keras dan aku tersungkur jatuh ke bawah. Pengamen itu tiba-tiba menarik kaleng yang masih kupegang erat di tanganku.
"Dasar maling!"
Si pengamen pergi sambil berlari membawa kaleng itu diikuti beberapa temannya dari belakang. Kepalaku merasakan sakit yang luar biasa. Hidungku mimisan. Tak berapa lama aku melihat seseorang datang mendekatiku.
"Dasar bodoh!", ucap orang itu. 
Aku mengenali suaranya. Dan senyum kecil mengembang di wajahku.
"Hai Tang!"
This story is dedicated for #15HariNgeblogFF2, Day 5

1 komentar:

  1. nice Story

    mampir ya
    http://blogs.unpas.ac.id/prutnop

    BalasHapus